apa eskatologi??
Eskatologi dalam pandangan Irfan dan Filsafat
oleh ; Abdul Ghofur
Pendahuluan
Sebelum kita menginjak permasalahan eskatologi dalam pandangan tasawuf serta filsafat seyogyanya kita mencari tahu asal kata dari ekskatologi tersebut sebagai pemahaman awal tentang eskatologi. Eskatologi berasal dari kata eschalos (yang Akhir, pamungkas, realitas akhirat, pengetahuan tentang kehidupan selanjutnya) artinya sesuatu yang terjadi dimana manusia ketika membahasnya belum mengalami sesuatu yang dibahasnya. Sesuatu yang terjadi nanti sehingga benar tidaknya sesuatu yang diceritakan masih bersifat anggapan atau perkiraan. Namun begitu melihat dari dalil-dalil serta pandangan para ahli kasyaf sudah dapat diyakini keberadaanya. Ada empat point dalam eskatologi yang tentunya bias mewakili pembahasan secara umum apa dan bagaimana eskatologi itu terjadi, yang pertama adalah Kematian dan alam kubur (barzakh), Hari kiamat, Kebangkitan dan Surga dan neraka. Keempat bahan diskusi tersebut adalah tema utama dalam makalah ini yang diharapkan menjadi pijakan kepada pembahasan lain yang semisal.
- 1. Kematian dan Barzakh
Dalam pandangan Ghazali “Metode menjemput maut” mengatakan bahwa makna perpisahan ruh dengan jasad adalah ruh sama sekali tidak lagi efektif bagi jasad, oleh karena itu jasad pun tidak lagi tunduk terhadap ruh. Dia melukiskan sebagai “kiamat kecil” seperti yang termaktub dalam hadits “ siapa yang meninggal dunia maka kiamatnya telah bangkit” berbeda dalam hal ini yang dikemukakan oleh al Farabi. Menurut Al farabi kematian adalah sebagai kehancuran raga materi dan jiwa sempurna akan mengalami perjalanan kehidupan selanjutnya sedangkan jiwa yang tidak sempurna akan mengalami kehancuran berkenaan dengan kehancuran materi.
[1] Ibn Sina pun andil dan memberi argumen bahwa kematian adalah perpisahan antara jiwa dan raga. Sedangkan Mulla sadra yang banyak dianut pahamnya oleh para filosof muslim mengatakan bahwa kematian merupakan kebenaran sebagai peristiwa alami kembalinya jiwa dari kehidupan duniawi dan awal perjalanan menuju Allah SWT.
Secara eksplisit Mullasadra menjelaskan pandanganya didalam kitabnya bahwa kematian pada dasarnya sebuah pencitraan ada yang membahagiakan dan ada juga yang menakutkan, semua kejadian itu tergantung kepada laku manusia di kehidupan dunia. Baik buruknya amal semasa didunia menjadi slah satu bagian citra tersebut sehingga bias dijadikan tolak ukur bahagia dan sengsaranya dikehidupan berikutnya. Menurut Abu Layth al samarkandi ia menggolongkan kematian itu sebagai makhluq tersendiri sehingga dikiaskan “ Akulah kematian yang memisahkan segala yang dicintai! Akulah kematian yang memisahkan lelaki dan perempuan, suami dan istri! Akulah kematian yang memisahkan anak-anak perempuan dan ibunya! Akulah kematian yang memisahkan anak-anak laki-laki dari bapaknya! Akulah kematian yang memisahkan antara saudara laki-laki yang satu dan yang lainya! Akulah kematian yang menundukkan kekuatan anak-anak Adam. Akulah kematian yang menghuni kubur, Tidak satupun makhluq yang bertahan untuk merasakanku….
[2]
Mullasadra meyakini bahwa semuanya berasal dari jiwa manusia itu sendiri karena substansi manusia itu adalah jiwa bukan sesuatu yang bersifat ragawi. Selanjutnya Mullasadra mengatakan bahwa “kebahagiaan akan terimajinasikan imajinasi-imajinasi dan forma yang luar biasa dan merasakan kenikmatan denganya, sedangkan orang-orang yang menderita tidak mempunyai hubungan dengan materi-materi yang mulia yang merupakan substansi jiwa-jiwa bercahaya, maka terimajinasikan melaluinya perbuatan-perbuatan buruk mereka dalam imajinasi yang berasal dari api dan ular yang berbisa”. Kutipan ini mirip yang dikemukakan oleh Syaikhul Isyraq.
Anggapan barzakh sebagai alam penghubung antara dunia dan akhirat tampaklah mendasar jika melihat dari sisi fase kehidupan manusia, hanya saja disini Islam dan zoroaster (majusi) yang memiliki konsep yang hampir sama tentang konsep barzakh. Untuk itulah fazlur Rahman menganggap bahwa konsep barzakh yang ada dalam Islam banyak dipengaruhi oleh ajaran Zoroaster yang berada di Iran. Kehidupan di Barzakh adalah kesadaran yang dialami jiwa dan persepsi jiwa terhadap beragam fragmen yang terjadi. Jiwa menyadari bahwa dirinya telah menjadi mayat dan didalam kubur. Daya imajinasi berfungsi sebagai indra bagi jiwa untuk melakukan persepsi dalam kehidupan dialam barzakh. Bagi mulla sadra semua yang terjadi itu hanyalah daya imajinatif, artinya semua itu terjadi dari dalam jiwa manusia itu sendiri dan buka sesuatu yang bersifat eksternal. Sedangkan kesenangan dan penderitaan pada dasarnya berawal dari forma-forma jiwa manusia semasa hidupnya.
Mullasadra lebih lanjut mengatakan kematian merupakan kebenaran sebagai peristiwa alami kembalinya jiwa dari kehidupan duniawi dan awal dari perjalanan kembali menuju Allah SWT. Jika Mullasadra menganggap bahwa jasad dan jiwa setelah kematianya jiwa tetap membawa estimasi (wahmiyyah) yang melalkukan persepsi terhadap beragam makna parsial secara substansial melalui imajinasi dan akan sangat berbeda jika melihat pendapat Al ghazali yang mengatakan bahwa jiwa tetap memliki keterikatan dengan raga tersebut dan merasakan perlakuan kasar atau sebaliknya ketika terjadi setelah jiwa terpisah dari jasadnya.
[3]
Karena dari awal Mullasadra telah berpegang teguh kepada adanya gradasi wujud maka dia beranggapan bahwa kematianpun bagian dari gradasiNya, yaitu melalui level wujud rendah menuju level yang lebih tinggi. Menurutnya kematian bukanlah lenyapnya sebuah kehidupan tetapi kehidupan akan terus berlangsung sebagaimana perjalanan manusia menuju Tuhanya. Kematian hanyalah terpisahnya jiwa dan raga dimana jasad tidak lagi berfungsi ketika jiwa telah berpisah denganya.
Bahkan pasca kematian jiwa tetap memliki daya imajinasi yang memiliki independensi dalam wujud. Daya ini akan selalu melakukan persepsi terhadap objek-objek parsial dan material melalui forma-formanya seperti layaknya yang terjadi dalam kehidupan di dunia. Perbandingan antara alam kubur dan akhirat seperti janin berada dalam rahim seorang ibu, sedangkan akhirat adalah alam actual pasca keluarnya janin dari rahim. “perbedaan antara fase kubur dan fase kebangkitan seperti perbedaan diantara dua keadaan manusia didalam rahim ketika hendak keluar darinya, sesungguhnyakeadaan kubur adalah gambaran dari keadaan kiamat”[4]
- 2. Kiamat
Hari kiamat adalah hari akhir kehidupan seluruh manusia dan makhluk hidup di dunia yang harus kita percayai kebenaran adanya yang menjadi jembatan untuk menuju ke kehidupan selanjutnya di akhirat yang kekal dan abadi.[5] Kiamat adalah bangkitnya mayit dari kematian. Dalam Al-Qur’an tuhan mendefinisikan bahwa kiamat adalah “Hari ketika seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. Tetapi Proses kiamat berdasarkan Alqur’an adalah dimulai dengan peniupan sangkakala yang mematikan makhluq kecuali bagi yang dikehendaki Allah (Jibril,Mikail, Isrofil dan Izrail).
Makna kehancuran disini antara Ghazali dan Rahman mengakui bahwa kehancuran kiamat adalah kehancuran dalam pengertian penghilangan kosmos dan segala unsur yang ada didalamnya yang kemudian dibarengi dengan penciptaan unsur-unsur kosmos baru yang tidak terkait dengan kosmos sebelumnya. Mereka mengakui kehancuran disini sebagai syarat terjadinya transformasi dan penyusunan kembali alam semesta untuk menciptakan bentuk kehidupan baru dan level kehidupan yang baru pula. Jadi kosmos baru yang tercipta adalah berasal dari unsur-unsur dan terkait dengan kosmos lama. (Segala sesuatu akan hancur kecuali Dia sendiri, 28:88).
Jika Rahman dan Ghazali berbicara sesuai style masing-masing maka Mullasadra pun mempunyai pendapat yang sangat berbeda dari keduanya bahkan para filosof dan teolog lainya, bagi sadra kiamat (besar) adalah terfokusnya orientasi segala yang rendah kepada yang maha Tinggi dan segala sesuatu kepada sumber aslinya, segala forma kepada hakikatnya, akibat kepada sebabnya serta tersambungnya jiwa-jiwa langit pada jiwa intelek.
Pada prinsip harakatul Jauhariyah, segala sesuatu pada dasarnya dalam gerakan dan berakhir jika sampai pada tujuan akhirnya. Bagi dia segala sesuatu akan mengalami kiamat karena segala sesuatu memiliki jiwa yang terus menerus mengalami gerakan transubstansial dan berorientasi pada puncak wujud yang disitu berakhir segala gerakan.
Didalam Al-Qur’an gambaran tentang kiamat sangat banyak sekali diantaranya terdapat surat al-Qiyamah, al waqiah, al haqqah, an Naba’ dan seterusnya yang semuanya menekankan akan datangnya hari dimana kehancuran dahsyat akan datang. Karena sesuatu yang dahsyat itulah maka banyak sekali para pemikir baik muslim maupun non muslim mencoba mendeskripsikan bentuk kiamat sesuai kemampuan masing-masing yang semuanya itu bertujuan untuk memahamkan bahwa kehancuran baik alam materi maupun abstrak hancur berkeping-keping sehingga semua kehidupan baik manusia, jin bahkan malaikat ikut hancur kecuali dzat yang maha hidup yaitu Allah SWT. Bahkan terlalu dianggap pentingnya Imam Ghazali mengumpulkan nama-nama yang berkaitan kiamat hamper seratus lebih diantaranya yaumul Qiyamah, yaum Hasrah, yaum al Nadamah, yaum Musabaqahyaum rajifah, yaum Waqiah dan masih banyak lagi tentang dahsyatnya hari kiamat.
Al-Hikmah al-Muta’āliyyah sebagai madrasah filsafat yang dikembangkan Mulla Sadra di angkat dari kitab utamanya al-Hikmah al-Muta’āliyyah fi al-Asfār al-Aqliyyah al-Arba’ah (Puncak kearifan dalam empat tahap perjalanan intelek). Mulla Sadrā menggambarkan bahwa manusia mencapai kearifan tertinggi haruslah melewati empat tahap perjalanan ruhani yang semuanya terangkum dalam rangkaian filsafat yang dikembangkannya. Empat tahap perjalanan tersebut antara lain :
1. Perjalanan pertama ; Safār min al-Khalq ila al-Haq (Perjalanan dari makhluk menuju Tuhan). Pada tingkat ini, perjalanan yang dilakukan adalah dengan mengangkat hijab kegelapan dan hijab cahaya yang membatasi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Seorang salik harus melewati stasion-stasion, mulai dari stasion jiwa, stasion qalb, stasion ruh dan berakhir pada maqsad al-aqsa. Pada tahap ini perjalanan ruhani baru dimulai dari pelepasan diri dan bergabung menuju Tuhan. Dalam kajian filsafatnya, perjalanan pertama ini adalah gambaran dari upaya salik mengangkat kesadarannya dari realitas makhluk lewat pembahasan wujud dalam makna umum dan juga tentang hukum-hukum ketiadaan, entitas, gerakan material dan sustansial serta intelek.
2. Perjalanan kedua : Safār bi al-Haq fi al-Haq (Perjalanan bersama Tuhan di dalam Tuhan). Pada tahap ini seorang salik memulai tahap kewaliannya, karena wujudnya telah menjadi diri-Nya dan dengan itu dia melakukan penyempurnaan dalam nama-nama agung Tuhan. Tingkat ini adalah tingkat penyempurnaan teologis seorang salik. Dalam konteks ini Mulla Sadrā membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan.
3. Perjalanan ketiga ; Safār min al-Haq ila al-Khalq bi al-Haq (Perjalanan dari Tuhan menuju Makhluk bersama Tuhan). Dalam stasion ini seorang salik menempuh perjalanan dalam Af’āl Tuhan, kesadaran Tuhan telah menjadi kesadarannya dan menempuh perjalanan di antara alam Jabarut, Malakut dan Nasut serta menyaksikan segala sesuatu yang ada pada alam tersebut melalui pandangan Tuhan. Pembicaraan pada tingkat ini meliputi proses penciptaan dan emanasi yang terjadi pada intelek-intelek.
4. Perjalanan keempat ; Safār min al-Khalq ila al-Khalq bi al-Haq (Perjalanan dari makhluk menuju makhluk bersama Tuhan). Pada tahap ini perjalanan penyaksian seluruh makhluk dan apa yang terjadi padanya di dunia dan akhirat serta mengetahui perjalanan kembali menuju Allah dan bentuk kembalinya serta azab dan nikmat yang akan diberikan Allah pada mereka. Karena itu pembicaraan Mulla Sadrā pada tingkat ini adalah pembicaraan yang berkaitan dengan Eskatologi atau Ma’ād yang akan terjadi pada diri manusia setelah kematiannya dan dengan bukti serta argumentasi rasional
Mullasadra dalam kaitanya dengan pembahasan ini membagi menjadi dua, kiamat kecil dan kiamat besar. Kiamat kecil identik dengan kematian yang terjadi pada manusia dan kiamat besar adalah terfokusnya orientasi segala yang rendah kepada yang Maha Tinggi. Segala sesuatu kembali kepada aslinya, segala forma pada hakikatnya, akibat pada sebabnya serta tersambungnya jiwa-jiwa pada jiwa intelek.[6] Akhirat menurutnya terangkatnya hijab yang membatasi manusia atas kesadaranya. Menurutnya kiamat tidaklah peristiwa besar yang terjadi pada fase tertentu seperti yang diyakini seseorang pada umumnya tetapi peristiwa ini terjadi sepanjang masa dan puncaknya adalah ketika segala sesuatu sampai kepada puncak tujuan perjalanan yang tidak ada tujuan lain setelahnya. Jika melihat pandangan-pandanganya tentunya kita dapatkan sesuatu yang sangat baru bahkan berbeda sekali layaknya pemikir-pemikir lain. Ini tentunya dia berusaha konsisten ketika berjalan diatas ranah filsafat yang dikembangkanya sehingga dia tidak butuh riwayat-riwayat para teolog pendahulunya.
- 3. Hari kebangkitan
Sebuah renungan untuk kita !
Apakah kebangkitan kembali terjadi pada jiwa atau juga melibatkan raga? Ataukah keduanya?
“Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakannya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha menyaksikan segala sesuatu”. (QS. Al Mujadilah : 6).
Al Ghazali dalam hal ini berpendapat bahwa kebangkitan akan melibatkan dibangkitkanya raga lama yang dan yang lama tersebut akan diperbaharui. Al farabi mengatakan bahwa hanya jiwalah yang terus hidup sesudah manusia mati, dan selanjutnya jiwa pemikir sajalah yang akan terus hidup dan bagi orang awam akan musnah manakala meninggal dunia. Ibn Sina berpandangan bahwa semua jiwa manusia akan terus hidup, sedangkan raga tidak akan bisa dibangkitkan lagi. Mulla sadra dalam hal ini sedikit berbeda argument, dia mengatakan bahwa kebangkitan adalah sebuah peristiwa ketika seluruh manusia terjaga dari penjaranya selama ini dadalam kubur dengan aktifnya indra untuk dapat mempersepsi hakikat-hakikat kehidupan akhirat. Dialam barzakh manusia melakukan proses penyempurnaan diri untuk dapat meningkatkan kualitas dirinya hingga mampu mempersepsi alam akhirat yangmerupakan alam dengan kualitas yang lebih tinggi dari alam-alam sebelumnya.
Yaum Ma’ad atau hari kebangkitan pada umumnya sulit diterima pada awal-awal sejarah islam. Ketika Mullasadra membahas tentang kebangkitan manusia dari kuburnya maka dia berpandangan bahwa peristiwa ini ketika manusia terjaga dari penjaranya selama ini didalam kubur dengan aktif nya indra untuk dapat mempersepsi hakikat-hakikat kehidupan akhirat. Bagi Mullasadra makna kebangkitan ini “ keluarnya jiwa dari partikel partikel bentuk yang selama ini meliputinya sebagaimana keluarnya janin dari rahim yang kokoh, kubur hakiki adalah tertutup dan terkepungnya jiwa setelah kematian raga pada bentuk yang selama ini menempel padanya dan jiwa tersebut diantara kematian dan kebangkitan berada dalam tingkatan janin atau orang yang tidur dan panca inderanya menjadi tidak aktif untuk dapat mempersepsi objek-objek akhirat dan ketika tiba waktu berbangkit terjagalah seluruh manusia dari keterpenjaraan ini melangkah menuju Allah SWT baik dengan kebebasan secara mutlak dari berbagai bentuk keterikatan dan penjara hawa nafsu dan dirinya dipenuhi kebahagiaan dalam perjumpaan dengan Allah SWT”[7]
Dia menambahkan bahwa fase kehidupan didunia ini adalah fase penyempurnaan jiwa untuk dapat mempersepsi alam barzakh dan fase alam barzakh adalah fase penyempurnaan jiwa untuk dapat mempersepsi alam akhirat. Dan panjang pendeknya masa seseorang dialam barzakh sangat bergantung pada kualitas jiwa seseorang tersebut.
Ibn Arabi mengatakan bahwa ruh manusia dijadikan Allah sebagai pengendali bagi forma indrawi baik itu didunia, alam barzakh, akhirat atau dalam keadaan apapun dirinya. Forma pertama yang dipakai oleh manusia adalah forma yang diambil melalui peristiwa perjanjian terhadap ketuhanan al-Haqq kemudian manusia dibangkitkan dari forma tersebut menjadi forma fisik duniawi, mulai dari rahim ibu hingga waktu kematianya. Disurga tersaksikan beragam forma, forma manapun yang dipandangnya indah maka dirinya akan dibangkitkan dengan forma tersebut dan disurga selalu terjadi kebangkitan dirinya dari satu forma kepada forma lain yang tiada akhirnya.
Lebih lanjut Mullasadra menjelaskan bahwa kebangkitan manusia terjadi secara berulang-ulang “ sesungguhnya pada manusia ada beragam kebangkitan” untuk itulah Mullasadra mengutip pernyataan Ibn Arabi “ ketahuilah bahwa ruh manusia dijadikanAllah sebagai pengendali bagi forma indrawi baik itu didunia, alam barzakh, akhirat atau dalam keadaan apapun dirinya. Forma pertama yang dipakai oleh manusia adalah forma yang diambil melalui peritiwa perjanjian terhadap ketuahan al Haq, kemuadian manusia dibangkitkan dari forma tersebut menjadi forma fisik duniawi, mulai dari rahim sang ibu hingga waktu kematianya. Ketika kematianya tiba ia dibangkitkan dalam forma lain hingga saat pertanyaan tiba. Ketika tiba saat pertanyaan akan dibangkitkankembali dengan forma fisiknya namun tetap dalam sifatnya sebagai kematian. Kemuadian dihidupkan kembali akan tetapi manusia tidak dapat mendengar dan menyaksikan kehidupan mereka kecuali mereka yang dibukakan Allah dari para nabi dan waliNya kemudian dibangkitkan lagi setelah pertanyaan dengan forma barzakh dan menjaganya dalam kondisi seperti itu. Forma tersebut adalah identitas barzakh, tidur dan kematian dalam keadaan seperti itu hingga tiupan seruling kebangkitan. Kemudian dibangkitkan dari forma tersebut menuju forma yang berbeda dari kehidupan dunia sekiranya masih tersisa pertanyaan baginya dan jika buka termasuk golongan tersebut dia akan dibangkitkan dengan forma penghuni surga sedangkan penghuni neraka seluruhnya masih dalam pertanyaan dan setelah masuk kedalam surga dia akan menetap didalamya kemudian diseur untuk menyaksikan selanjutnya dibangkitkan dengan forma yang tidak dapat dicapai kecuali dengan penyaksian dan ketika dibangkitkan dalam forma yang berkesesuaian dengan sebelumnya.[8]
- 4. Surga dan Neraka
Allah berfirman dalam Al-Quran tentang neraka “Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah merekapun lapisan-lapisan (dari api). Demikianlah Allah mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan azab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku.(Az Zumar:16)
Sedangkan tentang surga Allah berkata “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya. ( Al Baqarah :25)
Hadist-hadist yang menyatakan bahwa Rasulullah melihat keadaan surga dan neraka Dari Abdullah bin Abbas ra., katanya: Pada masa Rasulullah saw. Terjadi gerhana matahari. Lalu beliau sholat (kusuf). Para sahabat bertanya: Ya, Rasulullah! Anda kami lihat seperti mengambil sesuatu di tempat anda berdiri, kemudian anda surut ke belankang, mengapa….? Jawab Nabi, “Diperlihatkan kepadaku surga, lalu kupegang setangkai (buah) daripadanya. Kalau kupetikkan untukmu, niscaya dapat untuk kamu makan seumur dunia.”[9]
Dari Anas bin Malik ra., katanya: “Nabi saw. Shalat bersama-sama dengan kami. Kemudian beliau naik ke mimbar dan menunjuk dengan tangannya ke arah kiblat masjid. Kemudian beliau bersabda: “Sekarang saya sungguh-sungguh telah melihat surga dan neraka. Yaitu semenjak akuu sholat tadi bersama-sama dengan kamu sekalian. Kedua-duanya bagaikan tergambar dalam penglihatanku di dinding sebelah kiblat itu. Belum pernah aku menyaksikan kebahagiaan dan kesengsaraan seperti yang kusaksikan hari ini.” Ucapan beliau itu diucapkannya sampai tiga kali.[10]
Hadist Shahih Bukhari No. 1448 Jilid III mengatakan bahwa Dari Abu Sa’id ra. katanya: nabi saw., bersabda: “Dinginkanlah suasana dengan mengerjakan sholat! Sesungguhnya panas yang sangat itu karena gejolak api neraka” [11]
Satu permasalahan yang tidak pernah turun ratingnya dalam sebuah pembahasan, baik orang awam atau khas beragama atau tidak beragama bahkan anak kecil sekalipun adalah pembahasan tujuan akhir dari kehidupan manusia yaitu surga dan neraka. Mengapa demikian? Karena dua entitas inilah yang selalu digambarkan tujuan akhir dari manusia diciptakan.
Tak elak lagi tujuan manusia diciptakan adalah sebagai penghuni surga dan neraka, karena dua entitas ini sudah pasti keberadaanya bahkan sebuah kepastian yang tidak bisa dinegasikan. Tujuan manusia seperti yang telah di jelaskan baik didalam al Qur’an maupun Hadits bahkan riwayat-riwayat baik qoth’I maupun dhanni pada dasarnya bertujuan untuk diketahui betapa pentingnya sebuah reward dan punishment oleh manusia sehingga adanya surga dan neraka adalah otomatisasi. Dalam perkembanganya, tentunya banyak pendapat yang berbeda-beda didalam menginterpretasikanya. Salah satunya adalah Fazlur Rahman yang menganggap bahwa surga dan neraka itu bersifat pasti, niscaya dan mutlak. Itu berarti bahwa moralitas atas keseluruhan perbuatan yang pernah dilakukan didunia sehingga kehadiran surga dan neraka yang dipersiapkan untuk manusia merupakan sebuah keniscayaan logis dan bermoral.
Sangat berbeda pandangan ketika kita membandingkan pendapat antara para teolog yang mengambil dasar dari dalil-dalil yang bersifat eksoterik yang mana surga dan neraka digambarkan secara material, ini tentunya berbeda dengan pendapat para filosof dan para sufi yang Penggambaran surga dan neraka dalam pandangan irfan ataupun filsafat tentunya hanya sebuah simbol. Mullasadra mengkiaskan bahwa surga dan neraka adalah bentuk kesempurnaaNya, tiada kematian, kelemahan, derita dan sebagainya begitupun sebaliknya. Dan semua itu bersifat inderawi maupun intelek yang mana tergantung sifat kecenderungan jiwa penghuninya. Namun dia menegaskan bahwa apa yang ada disurga semuanya bersifat intelek dan sama sekali tidak ada materi, gerak, sebab aktifitas, pembaharuan dan perpindahan karena wujud disurga tidak lain adalah wujud formatif.
Sadra membagi surga menjadi dua, surga inderawi dan surga intelek. Inderawi adalah surga yang berisikan beragam forma tanpa materi yang dapat dipersepsi secara inderawi dan dapat mengalami perubahan sedangkan surga intelek berisikan forma-forma intelek dan imajinal bercahaya. Baik surga maupun neraka sekilas mengisyaratkan pada tempat balasan bagi perbuatan manusia setelah melalui perhitungan dan timbangan, jika manusia tersebut banyak melakukan perbuatan baik maka tempat yang akan ditinggalinya adalah surga sebagai pusat kenikmatan yang menjadi ganjaran bagi kebaikanya tersebut, sedangkan jika manusia tersebut banyak melakukan kejahatan maka tempat yang akan ditinggalinya adalah neraka yang penuh dengan azhab dan penderitaan sebagai balasan bagi kejahatanya.
Penggambaran kenikmatan surga dan penderitaan neraka ini sama sekali tidak dijumpai pada kitab-kitab suci agama lain, kedua penggambaran ini merupakan tema spesifik Al-qur’an. Tema ini banyak diangkat dalam surat-surat pendek yang pada umumnya diturunkan dikota Makkah pada awal karir nabi Muhammad SAW.[12] Oleh karena itu penggambaran tentang surga dan neraka cenderung literal bahkan sebagian berpendapat bahwa penggambaran tersebut sebagai materialis. [13]
surga digambarkan sebagai taman yang mengalir sungai-sungai didalamnya sedangkan neraka sebagai tempat api yang menyala-nyala dan akan membakar manusia yang berdosa, mengingat kehidupan masyarakat Arab waktu itu dalam kleadaan tandus dan gersang menjadikan taman dengan air yang mengalir sebagai sebuah kehidupan yang indah dan ideal.
Mullasadra ketika berbicara tentang surga dan neraka selain didasarkan pada argumentasi rasional yang telah dipaparkan sebelumnya juga berdasarkan nash-nash, pernyataan para imam dan mukasyafah, hal ini dinyatakan pada awal penjelasanya tentang realitas surga dan neraka, mengingat surga dan neraka secara spesifik adalah sesuatu yang tidak terjangkau akal. Argumentasi rasional yang dikemukakan Mullasadra pada intinya hanya membuktikan ke non materian surga dan neraka dan substansi yang telah mencapai puncaknya tidak lagi terjadi padanya gerakan dalam makna teraktualisasinya potensi. Karenanya seperti pada pendahuluan yang dikemukanya hampir sebagian besar penjelasan lainya yang dilakukanya mendasarkan diri pada nash dan mukasyafah.[14]
Hal ini dalam pandangan mulla sadra didasarkan pada tingkat kualitas jiwa yang masuk kedalamnya, tingkat kualitas jiwa yang belum pernah sampai pada kenikmatan intelektualitas jiwa yang telah mengecap kenikmatan intelektif dan cenderung berbeda dari kenikmatan inderawi. Dia juga membagi neraka menjadi dua bagian, pertama neraka inderawi yang dikhususkan bagi orang-orang kafir yang berisikan siksaan bagi fisik dan neraka maknawi dikhususkan bagi orang-orang munafik dan sombong. Karena kedua karakter tersebut bersifat batin maka siksaannya pun bersifat siksaan hati. Manusia mempersepsi objek-objek dialam akhirat sebagaimana manusia mempersepsi objek-objek dialam dunia namun perbedaan utama bahwa manusia mempersepsi objek duniawi dengan menggunakan lima indera materi sedangkan dialam akhirat manusia menggunakan indera imajinal.
Dalam hal ini Mullasadra membagi neraka menjadi dua bagian yaitu neraka inderawi yang dikhususkan bagi orang-orang kafir yang berisikan siksaan bagi fisik dan neraka maknawi yang dikhususkan bagi orang-orang munafik dan sombong karena kemunafikan maupun kesombongan merupakan dua karakter batin dan siksaanyapun bersifat siksaan hati (qolbu)[15]
[1] Abu Nasr al farabi, al Siyasah al Madaniah(Da’irah al Ma’arif al Utsmaniyyah)
[2] Abu layth al samarkandi, kitab al ahwalal Qiyamah. Kairo 1964
[3] Al-ghazali, Durrah Al fakhirrah fi kasfi ulum al akhiroh, 1992
[4] Mullasadra, al asfar jilid 9 hal 219
[6] Asfar hal. 278
[7] Kholid Al-Walid, Eskatologi Mullasadra 2008
[8] Ibn Arabi, futuhat jilid 3
[9] Hadist Shahih Bukhari 415-416 Jilid I
[10]Hadist Shahih Bukhari No. 1139 Jilid III
[12] Sachiko Murata dan W. C Chittick, the vision of Islam. 1996
[13] Jane Idelman Smith, The Islamic Understanding. Hal 133
[14] Mullasadra, al-Asfar jilid 9
[15] Kholid Alwalid, Eskatologi Mullasadra 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar